Selasa, 17 Agustus 2010

BALADA PENYESALAN

Pagi ini kuhirup hawa dingin yang menusuk. Hujan memang tak berhenti juga semenjak kemarin membuatku berat untuk bergeser dari singgasana berukuran 6 x 8 meter ini. Kutarik lagi selimut Spongebob favoritku, namun sayangnya aku harus kembali ke dunia hitam putih dengan setumpuk bualan yang tak pernah selesai. Kulirik jam dinding yang telah menunjukkan pukul 7 pagi. Saatnya untuk bersiap pergi ke sekolah.

Kususuri anak tangga dari kamar tidurku dan di bawah terlihat mama sedang duduk sendiri. Wajahnya pucat, sepertinya ia baru saja menangis. Mama adalah sosok yang sangat luar biasa, walaupun sering kali aku menolak keinginannya, berkata kasar padanya, hingga membanting pintu jika aku tak suka dengan apa yang dilakukannya. Diam-diam aku pun merasa sangat aman berada di rumah bila mama berada di dekatku. Ia selalu terlihat ceria di hadapanku, selalu memberikanku tambahan uang saku jika aku ingin sekedar menghabiskan waktu dengan kawan-kawanku di luar. Di sisi lain, ia selalu menjadi bulan-bulanan papa yang tak pernah bersikap friendly padaku. Papa tak pernah menyukai kehadiranku. Sejak aku lahir, ia tak pernah benar-benar memberikan cintanya padaku karena ia sangat mengharapkan lahirnya seorang anak laki-laki yang nantinya akan menjadi penerus perusahaannya.

Begitu aku sampai di meja makan, kulirik wajah mama lekat-lekat, namun ia malah berpaling dariku. Aku pun berpikir bahwa ia sedang tidak ingin berbicara dan malu jika kudapati ia bersedih. Akhirnya aku pun berangkat ke sekolah tanpa sarapan pagi karena aku tak ingin mengganggu mama.

Kulihat jam tanganku, pukul 7.30. Terlambat lagi. Aku pun berlari menuju gerbang sekolah dan berharap tak bertemu dengan pak Parman, penjaga sekolah yang paling ditakuti oleh setiap anak yang terlambat. Ia akan memberikan hukuman yang paling sadis agar tiada siswa lagi yang terlambat. Aku pun berjalan dengan berjinjit dan sambil melihat-lihat keadaan, namun sayangnya di hadapanku telah berdiri sesosok pria berseragam satpam dan bernama PARMAN. Aku pun mengutuk dalam hati, tapi kali ini sungguh aneh karena ia malah mengacuhkanku. Sepertinya ia ingin agar aku secepatnya masuk ke kelas tanpa mendapatkan hukumannya. Thanks God.

Ternyata di dalam kelas, Bu Rani, guru matematika sudah masuk lebih dahulu. Dengan secepat kilat aku pun menempati kursi kosong yang berada di pojok kelas. Tempat ini sudah menjadi kerajaanku sehingga tidak ada satu siswa pun yang berani duduk di tempat ini. Semua anak terlihat sibuk menulis sesuatu di buku mereka dan ternyata baru kuingat jika ada PR matematika yang belum kusentuh, tapi bukan Sarah Pratiwi namanya jika aku tak bisa melalui rintangan yang satu ini. Aku pun mempersiapkan alasan yang paling mantap sehingga ketika ditanya maka aku pun dapat menjawabnya. Tak rugi jika aku bergabung di teater Cinta SMU ini! Namun, mungkin ini adalah hari keberuntunganku, ibu Rani, tak ada meminta kami untuk mengumpulkan tugas tersebut dan bebaslah aku dari semua ini.

Hari ini sedikit membosankan, tak ada satu pun kawan yang menyapa ataupun hanya sekedar bertanya kabarku. Lilian, kawanku yang biasanya mengajakku bicara kini hanya diam membisu. Ia hanya menatapku aneh. Lilian adalah anak terpandai di kelas. Ia sangat baik padaku. Ia tahu bahwa aku tak punya banyak teman. Mungkin karena sifatku yang sering membuat orang panas bila berada di sampingku. Aku pun tak berani mengganggunya karena ia mungkin sedang memiliki masalah pribadi yang tak boleh kuganggu gugat.

Selesai dari sekolah, aku pun pulang ke rumah dan betapa terkejutnya aku melihat fotoku yang berukuran 10 R terpajang di ruang keluarga. Orang bodoh mana yang melakukan ini, kutukku dalam hati. Kudatangi mama yang sedang duduk di pinggir kolam renang.

“Ma, kenapa foto Sarah di pajang begitu?”

Mama tak menjawab sama sekali, seolah tak mau mendengar suaraku. Dengan penuh kekesalan, aku pun masuk kembali ke ruang keluarga dan kuturunkan foto itu, namun sayangnya kakiku tersandung sehingga aku pun menjatuhkan foto tersebut dan membuatnya pecah berkeping-keping. Mama pun datang menghampiri dan membersihkan kepingan kaca itu dengan tangannya sambil menangis. Kupegang tangannya yang terluka saat membersihkan serpihan itu namun ia tak memperdulikan kehadiranku.

“Ma! Lihat Sarah sekarang ma!”

Ia tak mendengarkanku.

“Ma! Ada apa sih sebenarnya di rumah ini?”

Tak ada jawaban.

“Sarah tahu kalau Sarah sudah berbuat salah karena kemarin pergi ke club diam-diam. Tapi, sekarang mama bisa lihat kalau Sarah baik-baik saja.”

Tiba-tiba papa masuk dan membantu mama berdiri. Ia pun membiarkan aku sendiri dengan buraian air mata. Saking marahnya, aku pun memukulkan tanganku ke arah guci kesayangan papa dan guci itu pun pecah berhamburan. Kulihat wajah mama dan papa kaget setengah mati. Aku ingin papa marah padaku, namun ia malah memanggil pembantu untuk membersihkannya. Darahku mendidih. Tak kusangka mereka tak mau menganggapku. Dengan nada penuh amarah aku pun berteriak di hadapan mereka.

“Baiklah, aku pergi saja! Jika memang aku tak pernah dianggap di keluarga ini!”

Aku pun berlari ke kamar. Aku menangis sejadi-jadinya. Marah. Kesal. Kecewa. Semua bercampur menjadi satu. Aku pun mengambil tas dan berniat untuk pergi dari rumah terkutut ini, namun belum sempat kubuka pintu lemari baju, aku pun terkaget-kaget bukan main kala tak kudapati pantulan wajahku di cermin.

Aku gemetaran dan ketakukan. Kudekati cermin yang terpasang di dinding berharap kudapatkan gambaran wajahku, tapi sia-sia. Dengan penuh ketakukan, kupukulkan kepalan tanganku di cermin hingga semuanya pecah berserakan.

Mama dan papa pun masuk. Mereka kaget dengan apa yang mereka lihat. Tangis mama meledak dan ia pun terduduk di hadapanku. Belum lagi hilang amarahku, tiba-tiba papa mengucapkan sesuatu yang membuatku kaget bukan kepalang.

“Ma, ikhlaskan Sarah ma! Biarkan Sarah pergi dengan damai. Sarah telah tiada Ma. Ikhlaskan ia sekarang ma…”

Dengan perasaan yang tak menentu aku pun berteriak tak percaya.

“Aku sudah mati!!!!!”

Jumat, 02 April 2010

Lagi dan Lagi...

Kucari-cari alasan untuk dapat menemui
Kucoba untuk mengerti dari apa yang terjadi
Teriakan demi teriakan mulai menggema dari sanubari
Mulai menggoda untuk berkata dan mulai menawarkan diri
Aku tak mau menjadi bait dalam roman picisan yang hari ini kubuat
Membaca kembali puisi itu saja sudah bisa membuat merah malu di wajahku
Apalagi jika dia tahu semua itu
Mungkin langsung saja kukuburkan diri sendiri ke pemakaman terdekat
Agar menyudahi segala kegilaan ini
Tapi, lagi-lagi kumain hati
Berharap agar tak terlihat menyukai
Dan mulai berbohong tanpa kendali