Minggu, 26 Juli 2009

JIKA KAU TAK DATANG MALAM INI

Kususuri jalan yang penuh dengan simburan cahaya dari ramainya dunia. Kutatap rembulan di atas sana. Ia bersinar namun sedikit tertutup oleh awan yang putih. Begitu setia ia di sana. Dan begitu mengherankan ketika malam ini tak kutemukan bintang-bintang di langit. Ke manakah mereka? Mengapa mereka tidak setia pada sang bulan? Teganya engkau duhai bintang, meninggalkan sang raja malam di singgasananya duduk sendiri. Sungguh aku tak suka padamu wahai bintang. Tak setia.


“Di dunia ini semuanya hadir berpasang-pasangan”. Itulah kata-kata yang paling kuingat dari seorang dosen yang mengisi kajian pagi ini. Huh. Memang semua ditakdirkan berpasang-pasangan, tapi mengapa mereka tidak setia. Mengingatkan aku pada kisah tadi malam. Kala kutemui rembulan yang termenung sendirian di atas sana. Berarti bintang telah menafikkannya bukan? Tak setia.


Kali ini kutemukan bintang bersinar dengan terangnya mendampingi rembulan malam. Beberapa remaja pasti menantikan dirinya. Berharap harapannya dapat dikabulkan olehmu. Hah. Siapakah dirimu wahai bintang sehingga generasi muda menggantungkan asanya padamu bukan kepada Sang Pencipta. Aku tak suka denganmu duhai bintang. Tak setia.


Jika memang sang bintang tercipta untuk rembulan, mengapa ia pernah meninggalkan rembulan sendirian? Ia takkan bersinar indah kala tiada rembulan di sisinya. Sebaliknya pun begitu. Namun, aku tak pernah menemukan satu hari di mana rembulan tak hadir menemani malam-malamku. Ia selalu datang walau kulihat ia tertatih tuk menampakkan wajahnya yang begitu elok rupawan. Tapi, ia selalu ada. Selalu datang. Tidak seperti engkau bintang. Tak setia.


Entah mengapa hatiku begitu marah pada bintang-bintang itu. Kali ini aku duduk di beranda rumahku tuk mengetahui apakah hari ini bintang kan hadir di sisi sang kekasihnya atau tidak.


Terkadang aku memang terlihat sangat gila. Hanya karena aku merasa bintang-bintang tidak terlihat di samping sang Rembulan saja, aku bisa kehilangan canda di raut wajahku. Sungguh kurasa ini tak masuk di akal, namun bagiku kesetiaan adalah segalanya. Jika kau memang berjanji tuk menemani, maka tepatilah itu.


Bagiku hadirnya bintang-bintang adalah ruh bagi rembulan. Begitupun sebaliknya. Rembulan pun adalah nafas bagi bintang-bintang. Semuanya saling membutuhkan. Bagaimana jika salah satunya pergi? Takkan indah malam ini.


Akhirnya, kutemukan mereka bersatu padu dalam damainya malam. Tak terasa butiran bening dari pelupuk mataku jatuh satu demi satu. Cahaya bulan memenuhi beranda rumahku dan bintang-bintang bersatu menjadi sebuah bentuk yang kurasa seperti sebuah layang-layang. Cantik. Sangat cantik.


Setelah aku merasa puas melihat dua sejoli tersebut dapat berjalan bersama. Rasanya aku iri dibuatnya. Walaupun sang bintang pernah meninggalkan rembulan sendiri. Tapi, hari ini kurasa mereka begitu sempurna. Seolah tidak terjadi apa-apa. Ataukah memang tidak ada yang terjadi? Atau hanya aku yang begitu berharap banyak pada mereka, padahal tak selamanya mereka bisa saling bersama.


Kusandarkan diriku pada dinding kamar yang berwarnakan hijau muda. Kutermenung akan kejadian hari ini. Mengapa aku begitu ingin melihat mereka bersama? Bintang dan rembulan. Karena tidak akan menyenangkan hariku tanpa melihat hadirnya mereka berdua di langit nan luas ini.


Walaupun aku sendiri di sini, tapi begitu aku menatapnya serasa ramai hatiku. Seolah aku menemukan sahabat-sahabat yang takkan pernah menghakimi aku ketika aku menangis karena mengulang semua kesalahan lagi. Sahabat yang selalu datang kala aku merasa sepi. Sahabat yang mengerti arti senyumku yang berlapis duka. Sahabat yang tak hanya menjadikanku sebagai tempat ia bercerita, tapi lebih dari itu. Dan sahabat yang akan menyimpan semua keluh kesahku bagai buku diari yang rapat terkunci.


Sempurna. Selalu itu yang kuinginkan. Setia. Selalu itu yang kusenandungkan. Seperti rembulan dan bintang. Mereka harus bersama! Karena mereka tercipta berpasangan. Mereka harus ada malam ini! Karena hanya merekalah temanku di kala malam.


Kali ini, kucermati lagi kata-kata yang baru saja terucap dari bibirku. Astaghfirullah. Kejamnya aku. Begitu kerasnya hatiku. Aku mengharuskan mereka ada dan harus bersama hanya untuk menemaniku yang sepi. Egoisnya aku. Aku yang selalu meminta kehadiran rembulan dan bintang di malam-malamku, namun tak kusadari bahwa kadang mereka memang tak bisa nampak di gelapnya malam karena tertutup awan. Seharusnya aku sadari bahwa sebenarnya mereka selalu hadir di malam-malamku, tapi aku saja yang tak dapat melihatnya.


Seketika pula kuteringat akan sebuah syair yang disenandungkan oleh Nuseib Uraidhah kepada saudaranya:

Bila engkau berjalan sendirian

Dan terhadapku engkau bosan,

Berjalanlah ke mana engkau mau

Tetapi percayalah akan kau dengar suaraku memanggilmu

Dengan panggilan, ‘Hai saudaraku…’

Dalam rangka tunaikan risalah

Tatkala itu pula kan datang kepadamu selalu

Kumandang cintaku di mana pun engkau berada

Dan

Kan berdenting di telingamu

Kala itulah kau dapati keindahan dan keagungannya…


Maafkan aku wahai sahabatku. Rembulan. Bintang. Karena aku terlalu egois yang menginginkan kalian hadir di malamku. Padahal aku tak tau apa yang terjadi pada dirimu. Maafkan aku yang terlalu meminta sebuah kesempurnaan padahal aku pun sebagai sahabatmu tak bisa menjadi yang sempurna. Maafkan aku pula kala aku menuntut kesetiaanmu tuk hadir menemaniku, padahal belum tentu aku dapat melakukan hal itu kala kau yang meminta.


NB: Cerpen ini merupakan sebuah perwujudan dari sebuah rasa yang kudapatkan ketika aku telah hidup di sebuah wadah baru yang menaungi aku dan saat itulah aku melihat pelbagai problem yang hadir sehingga membukakan mataku untuk bisa menjadi manusia yang berarti bagi orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar