Jumat, 31 Juli 2009

MELOGIKAKAN CINTA


Kututup buku kumcer yang sedari tadi kubaca. Entah mengapa aku tak bisa konsentrasi pada setiap cerita yang ada di dalamnya. Semuanya tak bersisa di hati. Tak seperti biasanya. Semuanya hanya seperti angin lalu. Tiada hikmah ataupun kata-kata yang bisa kutangkap.

Huh. Kuhela nafasku panjang. Pikiranku kacau hari ini. Tiada satu pun pekerjaanku yang selesai dengan baik. Kali ini aku menyerah. Kucoba hentikan segala aktifitasku. Keselami pikiranku yang ruwet bagai benang kusut. Ada apa sih? Yah, begitulah jikalau diri sudah tak mau jujur lagi pada hati nurani. Sudah jelas batin menjerit tapi aku tak peduli.

Azza. Hanya nama itu yang sebenarnya terngiang dalam jiwaku. Sungguh tiada yang lain. Segala aktifitasku hanyalah topeng yang kubuat sendiri agar aku tidak terlihat sedang melamunkan seseorang. Dari dulu aku memang tak suka untuk menghabiskan waktu hanya dengan membayangkan seseorang yang tak pernah mau memahami hatiku. Kini aku lebih terlihat realistis dalam berpikir. Semua pengalaman pahit tentang cinta telah membuatku membentengi diri dari segala hal yang bernafaskan cinta. Aku telah berjanji pada diriku sendiri agar tidak buru-buru dalam merajut tali kasih. Yah, akhirnya aku pun merasa hampa. Sangat hampa.

Kupandangi hp yang selalu ada di sisiku. No message. No miscall. Hatiku menjerit dan bertanya kemanakah dia. Mengapa dia tak kunjung mengirimkan pesan satu pun padaku? Bahkan miscall darinya pun kutunggu demi mengobati rasa rinduku, tapi what can I say. Nothing.

Akhirnya dengan sedikit ragu aku memencet nomor Azza, tapi kuyakinkan diriku lagi. Ternyata gengsiku lebih tinggi dibandingkan dengan perasaanku yang hampir meledak ini. Dengan sedikit kecewa akhirnya kupupuskan semua keinginanku untuk memiscallnya. Aku pun harus berani mengambil resikonya dengan menelan pil pahit kerinduan.

Kurebahkan tubuhku di kasur ternyaman yang pernah kumiliki. Namun, kenyamanan kasur ini tak senyaman hatiku. Lagi-lagi hanya namanya yang terlantunkan di dalam jiwaku. Tuhan, mengapa dia selalu ada di otakku? Kucoba tuk mencari jawaban yang logis agar hatiku terpuaskan. Hmm..Dia tak pantas untukku karena dia sekarang adalah sahabatku. Dia telah jatuh cinta pada orang lain dan aku pun tahu siapa wanita itu. Bahkan aku pun selalu memberikan saran bagaimana caranya mendekati wanita yang kini sedang berada di istana hatinya itu. Duh, aku tak boleh jatuh cinta lagi padanya. Cukup sekali aku melakukan kebodohan itu. Sekarang tidak boleh terulang.

Dulu aku adalah kekasihnya. Dulu dia sangat mencintaiku. Dulu aku berada di dalam istana hatinya, tapi semakin lama semakin banyak aral melintang hubungan kami. Hingga kuputuskan cintanya dan berjanji tuk menjadi temannya saja. Namun, entah apa yang merasuki pikiranku kali ini. Aku benar-benar merasa putus asa kala ia menceritakan tentang perasaannya kini yang sedang tertambat pada seorang wanita. Oh Tuhan, aku benar-benar merasa kacau. Tapi, lagi-lagi aku menutupi segala kecemburuanku itu dengan segudang nasihat untuknya. Terkadang aku merasa telah menjadi manusia yang paling munafik karena telah membohonginya. Bahkan yang paling parahnya lagi aku telah menipu diriku sendiri demi sebuah janji tuk tidak terjerembab lagi pada dirinya. Sungguh hatiku bagai teriris. Namun, layaknya seorang aktris pemenang awards, aku pun melanjutkan hidup dengan sandiwara. Tawa adalah tangis. Senyum adalah luka. Bertemu dan mendengarkan segala kisah cintanya seakan menjadi cobaan terberat yang pernah ada. Padahal aku berjanji menjadi teman setia yang rela menjadi “tong sampah” bagi hatinya yang sedang gundah karena belum juga mendapatkan sinyal dari sang pujaan hati.

Pernah sekali ia bertanya padaku mengapa dia belum juga menemukan tambatan hati hingga sekarang. Berarti akulah kekasih yang terakhir baginya dan sekarang menjadi penasihat bagi kisah cintanya. Ironis. Ingin kumenertawai diriku sendiri yang membuta-butakan mata yang masih sehat tuk melihat kenyataan.

Beberapa hari yang lalu ia bertanya padaku tentang perasaanku yang sebenarnya padanya. Sungguh mengejutkanku. Ia bertanya apakah dia selalu mengecewakan hatiku? Apakah aku masih mengharapkannya? Deg. Pertanyaan itu benar-benar menguras tenagaku. Tuk berkata ya dan tidak telah berada di antara ruang yang sangat dekat. Dan sebelum aku menjawab, lagi-lagi rasa gengsiku memenangkan segalanya. Dengan santai kujawab “Apa? Kecewa? Buat apa Za?? Sekarang aku adalah temanmu, aku akan selalu berada di sampingmu tuk memberikan solusi agar kamu cepat mendapatkan hatinya.” Hahaha. Ingin sekali aku menampar wajahku sendiri. Munafik sekali aku ini.Ia pun diam setelah mendengar jawabanku itu. Dan ternyata ia telah diam untuk selamanya. Hingga kini tiada lagi kuterima pesan darinya ataupun teleponnya. Oh Tuhan, aku sangat menyesal dengan segala yang telah kulakukan padanya.

Andai dia tahu bahwa selama ini aku telah berbohong padanya tentang perasaanku. Andaikan ia tahu bahwa aku sangat ingin agar ia menjadi seseorang yang mencintaiku seperti pertama kali kami bertemu. Kini, semua itu tinggallah kenangan dan penyesalan yang takkan habis.

Kini, kuhanya bisa berharap kau akan mengirimkan pesan padaku. Terserah apapun yang kau kirimkan. Setidaknya aku masih bisa bersamamu. Entahlah, malam ini yang kurasakan hanyalah kesendirian. Tiada lagi pikiran untuk membohongi diri sendiri. Berpura tak mencinta padahal aku sekarat karenanya. Kali ini kumenangkan hatiku dan tak pedulikan gengsiku. Kuberjanji jika suatu saat kudiberikan kesempatan kedua dan kau bertanya apakah aku masih mengharapkanmu, tanpa pikir panjang lagi aku akan berkata sejujurnya padamu. Satu hal lagi yang harus kuingat bahwa tak semuanya bisa dilogikakan. Apalagi tentang CINTA.

xxxx

Tidak ada komentar:

Posting Komentar